BeritaInvestor.id – Utang jatuh tempo Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) selama 2025 mencapai Rp922,4 triliun, melampaui utang jatuh tempo pemerintah yang sebesar Rp800,3 triliun. Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual merinci bahwa utang SRBI akan jatuh tempo secara kuartalan sebagai berikut:
- Kuartal I: Rp192,38 triliun
- Kuartal II: Rp277,53 triliun
- Kuartal III: Rp248,28 triliun
- Kuartal IV: Rp204,22 triliun
Namun, data berbeda diungkapkan oleh Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede, yang menyebut total utang SRBI jatuh tempo sebesar Rp885,74 triliun.
Tanggapan Bank Indonesia
Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, mengonfirmasi bahwa posisi utang SRBI mencapai Rp922,5 triliun pada awal 2025. Ia menekankan bahwa SRBI memiliki tenor singkat (6-12 bulan), sehingga seluruh utang tersebut harus dilunasi dalam tahun berjalan. Ramdan juga menegaskan bahwa penerbitan SRBI telah memperhitungkan kondisi likuiditas pasar uang. “Dalam menerbitkan SRBI, Bank Indonesia selalu mempertimbangkan kondisi likuiditas di pasar uang,” ungkapnya.
Risiko Crowding Out dan Negative Carry
David Sumual memperingatkan potensi crowding out, di mana meningkatnya utang pemerintah dan SRBI dapat mengurangi akses pendanaan bagi sektor swasta. Hal ini terjadi karena investor lebih memilih obligasi pemerintah atau bank sentral yang dianggap lebih aman dibandingkan obligasi swasta.
Sementara itu, Josua Pardede menyoroti bahwa SRBI menimbulkan negative carry bagi BI. Yield SRBI lebih tinggi dibandingkan dengan imbal hasil obligasi pemerintah yang menjadi underlying-nya. Sebagai contoh, yield rata-rata lelang perdana SRBI 2025 sebesar 7,29%, lebih tinggi dari yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang sebesar 7,18% pada 10 Januari 2025.
“Strategi ini meningkatkan biaya operasional BI karena yield SRBI yang lebih tinggi dari obligasi pemerintah,” kata Josua.
Dampak Global: Kebijakan Trump Proteksionis
Selain itu, tantangan perekonomian global turut menjadi perhatian. Kemenangan Donald Trump yang kembali menjadi Presiden AS dinilai dapat memicu kebijakan proteksionis yang agresif. Hal ini berisiko memengaruhi cadangan devisa BI jika investor asing menarik dananya dari pasar Indonesia.
“Kekhawatiran utama adalah seberapa agresif kebijakan tarif Presiden Trump, yang dapat memengaruhi likuiditas dan perekonomian Indonesia,” tambah David.
Tantangan Strategi Pembiayaan
Dengan tingginya utang SRBI yang jatuh tempo, Bank Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk menyusun strategi pembiayaan yang tidak merugikan perekonomian nasional. Josua dan David sepakat bahwa manajemen utang SRBI harus memperhatikan efisiensi biaya dan dampaknya terhadap sektor swasta serta likuiditas nasional.
Disclamer : keputusan pembelian / penjualan Saham sepenuhnya ada di tangan investor