BeritaInvestor.id – PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), lebih dikenal dengan nama Sritex, resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang pada 24 Oktober 2024. Putusan ini juga mencakup tiga anak perusahaan Sritex, yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya. Perusahaan tekstil ini gagal memenuhi kewajiban pembayarannya kepada PT Indo Bharat Rayon, pemohon pailit dalam kasus ini.
Masalah Utang yang Menggunung
Kepailitan ini disebabkan oleh beban utang yang terus membengkak. Hingga akhir 2023, kewajiban jangka pendek Sritex mencapai USD 113,02 juta, sementara utang jangka panjangnya mencapai USD 1,49 miliar. Sebagian besar utang ini berasal dari sindikasi bank asing, termasuk Citigroup, DBS, HSBC, dan Bank Shanghai, serta sejumlah bank lokal seperti Bank Central Asia (BCA), Bank QNB Indonesia, dan Mizuho Indonesia.
Sritex sebenarnya bukanlah pemain baru di industri tekstil. Berdiri lebih dari 50 tahun, perusahaan ini berkembang pesat di bawah kepemimpinan Haji Muhammad Lukminto, seorang pengusaha tekstil yang memulai bisnisnya di Solo. Namun, masalah keuangan yang terus menumpuk akhirnya membuat perusahaan terpuruk.
Efisiensi dan PHK Karyawan
Untuk menghadapi krisis keuangannya, Sritex telah melakukan restrukturisasi utang dan efisiensi operasional. Sepanjang 2023, perusahaan memangkas jumlah karyawan dari 16.370 menjadi 14.138. Meski demikian, upaya tersebut belum mampu menyelamatkan perusahaan dari kebangkrutan.
Pengaruh Pandemi dan Geopolitik Global
Sritex menyebut pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, serta gangguan rantai pasok sebagai faktor utama yang memperburuk kondisi keuangannya. Selain itu, over supply produk tekstil dari China yang memasuki pasar Indonesia dengan harga dumping juga menjadi salah satu penyebab terpuruknya Sritex. Kondisi ini semakin memperberat persaingan di industri tekstil domestik, yang membuat Sritex kesulitan bertahan.
Sejarah Panjang Sritex di Industri Tekstil
Didirikan oleh Haji Muhammad Lukminto, Sritex awalnya dimulai sebagai kios tekstil kecil di Pasar Klewer, Solo. Usahanya berkembang pesat hingga akhirnya pada 1980, Sritex menjadi salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia. Di masa Orde Baru, kedekatan Lukminto dengan pemerintah membawa keuntungan besar bagi perusahaan, termasuk proyek pengadaan seragam batik untuk Korpri, Golkar, dan ABRI.
Namun, seiring perubahan zaman dan tantangan global, Sritex kini menghadapi tantangan yang jauh berbeda. Kepailitan yang dialami Sritex menunjukkan betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi industri tekstil di Indonesia di tengah kondisi global yang tidak menentu.
Disclamer : keputusan pembelian / penjualan Saham sepenuhnya ada di tangan investor