BeritaInvestor.id – Rupiah jatuh ke posisi terlemah sejak April 2020, mencapai Rp16.537/US$ pada awal perdagangan pasar spot, Jumat (28/2/2025). Awalnya, rupiah dibuka turun tajam 0,46% ke Rp16.525/US$ sebelum melanjutkan penurunan ke Rp16.530/US$ dan mencapai Rp16.537/US$ dalam waktu lima menit.
Penyebab Pelemahan Rupiah
Pelemahan ini disebabkan oleh sentimen negatif dari kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden AS, Donald Trump, beserta data pertumbuhan ekonomi yang positif di AS, yang mengindikasikan inflasi akan terus naik. Dalam konteks ini, rupiah menjadi salah satu mata uang yang paling tertekan di Asia, hanya lebih baik dari won Korea Selatan yang anjlok 0,8% dan ringgit Malaysia yang jatuh 0,65%. Kenaikan nilai dolar AS juga turut mempengaruhi.
Situasi Pasar dan Tindakan BI
Ketegangan dalam perang dagang serta prediksi inflasi PCE (Personal Consumption Expenditure) di AS semakin memperburuk situasi bagi mata uang pasar emerging. Secara teknis, rupiah telah menembus dua level support dan berpotensi turun lebih jauh hingga Rp16.550/US$, dengan Rp16.600/US$ menjadi level support yang paling penting.
Peran Bank Indonesia
Bank Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas dengan mengawasi pasar dan melakukan intervensi untuk mendukung nilai rupiah. Edi Susianto, Direktur Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas di Bank Indonesia, menyatakan bahwa tekanan rupiah ini berkaitan dengan kebijakan tarif Donald Trump, terutama tarif 25% pada Kanada, Meksiko, dan 10% untuk China, serta ancaman tarif baru pada Uni Eropa. Edi juga menambahkan bahwa BI akan terus melakukan intervensi untuk menjaga kepercayaan pasar.
Di sisi lain, IHSG juga terbuka dengan merah 0,6% dan dengan cepat turun hingga 1,21% ke level 6.410. Kejatuhan ini menandai dimulainya fase bearish di pasar saham. Selain itu, harga obligasi negara juga mengalami tekanan negatif, dengan hasil obligasi tenor 5 tahun naik 2,2 basis poin menjadi 6,788%.
Disclaimer: Keputusan pembelian / penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.