Nilai tukar rupiah menunjukkan penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah ditutup menguat 0,37% menjadi Rp 14.940,00/US$. Hal ini didukung oleh berakhirnya status pandemi Covid-19 di Indonesia setelah 3 tahun. Presiden Jokowi mengumumkan bahwa negara memasuki masa endemi dengan kondisi perkembangan kasus yang mendekati nihil per hari.
Di sisi lain, mata uang Asia lainnya mengalami koreksi menantikan pidato Jerome Powell, Ketua The Fed. Ada keraguan di pasar terkait kelanjutan sikap The Fed terkait suku bunga, di mana The Fed telah mengindikasikan kemungkinan kenaikan suku bunga sebanyak dua kali tahun ini.
Potensi kenaikan suku bunga The Fed ini juga berdampak pada mata uang negara lain, termasuk mata uang Asia. Bank sentral negara lain perlu melakukan penyesuaian suku bunga untuk menghadapinya.
[tv-chart symbol=”USDIDR” width=”420″ height=”240″ language=”en” interval=”D” timezone=”Asia/Bangkok” theme=”White” style=”2″ toolbar_bg=”#f1f3f6″ enable_publishing=”” hide_top_toolbar=”” withdateranges=”” hide_side_toolbar=”” allow_symbol_change=”” save_image=”” details=”” hotlist=”” calendar=”” stocktwits=”” headlines=”” hideideas=”” hideideasbutton=”” referral_id=””]
Bank Indonesia diperkirakan akan menahan suku bunga di level 5,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang akan dilaksanakan. Pelemahan rupiah dan mata uang Asia dalam beberapa hari terakhir juga dipengaruhi oleh krisis likuiditas China yang menyebabkan penurunan suku bunga oleh The People’s Bank of China (PBoC).
Dengan suku bunga AS yang berpotensi naik, perbedaan suku bunga antara Indonesia dan AS semakin tergerus. Meskipun demikian, Indonesia masih nyaman dengan suku bunga saat ini.
China juga memangkas suku bunga untuk mempercepat pemulihan ekonomi mereka. Meskipun perbatasan sudah dibuka sejak Januari 2023, China masih berusaha untuk menggerakkan ekonomi dengan cepat.