Perdagangan dimulai pada Selasa (13/6/2023), dengan rupiah mengalami pelemahan sebesar 0,03% menjadi Rp14.865/US$. Pelemahan ini terjadi karena para pelaku pasar masih menunggu keputusan the Fed dalam rapat FOMC yang akan diadakan besok, Rabu (14/6/2023). Rapat FOMC ini merupakan agenda penting yang perlu diperhatikan, karena ada kemungkinan the Fed akan mempertahankan suku bunga pada level yang sama.
[tv-chart symbol=”USDIDR” width=”420″ height=”240″ language=”en” interval=”D” timezone=”Asia/Bangkok” theme=”White” style=”2″ toolbar_bg=”#f1f3f6″ enable_publishing=”” hide_top_toolbar=”” withdateranges=”” hide_side_toolbar=”” allow_symbol_change=”” save_image=”” details=”” hotlist=”” calendar=”” stocktwits=”” headlines=”” hideideas=”” hideideasbutton=”” referral_id=””]
Menurut pemeringkat FedWatch, probabilitas tidak adanya kenaikan suku bunga telah mencapai 70%, sedangkan sebagian masih percaya bahwa akan terjadi kenaikan suku bunga. Ketidakpastian terkait hasil pengumuman tersebut membuat para pelaku pasar menjadi lebih berhati-hati dalam melakukan investasi.
Namun, jika the Fed berhasil mempertahankan suku bunga pada keputusan minggu ini, hal ini tentu akan menjadi katalis positif bagi nilai tukar rupiah sebagai salah satu mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia.
Selain itu, para pelaku pasar juga menantikan data inflasi AS untuk bulan Mei 2023, yang diperkirakan akan menurun menjadi 4,1% secara tahunan, dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 4,9%. Sementara itu, inflasi inti diperkirakan akan turun menjadi 5,3% dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 5,5%.
Di sisi domestik, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menyatakan beberapa waktu lalu bahwa rupiah masih berpotensi menguat dalam kisaran Rp 14.800-15.200/US$ untuk tahun ini. Untuk tahun 2024, rupiah juga masih berpotensi menguat dalam kisaran Rp 14.600-15.100/US$.
Terdapat empat alasan yang mendukung potensi penguatan mata uang rupiah. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Kedua, inflasi yang masih terkendali. Ketiga, pembayaran cadangan devisa yang masih rendah. Dan keempat, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) dan aset keuangan yang masih menarik.