BeritaInvestor.id – Pasar minyak mentah dunia membuka perdagangan Senin dengan tidak seimbang, di mana minyak mentah Brent mengalami penurunan yang signifikan. Hari ini, harga minyak mentah WTI membuka perdagangan dengan menguat tipis sekitar 0,03% dan berada di posisi US$90,82 per barel, sementara minyak mentah Brent membuka perdagangan dengan penurunan tajam sekitar 3,28% dan berada di posisi US$92,18 per barel.
Pada hari Jumat (29/9/2023), harga minyak WTI ditutup dengan penurunan sekitar 1% di posisi US$90,79 per barel, sedangkan harga minyak Brent juga mengalami penurunan sekitar 0,07% di posisi US$95,31 per barel.
Perhatian investor saat ini tertuju pada prospek pasokan minyak global yang ketat, terutama setelah kesepakatan kongres AS pada menit-menit terakhir untuk menghindari penutupan pemerintah (government shutdown) Amerika Serikat (AS).
Harga minyak turun sekitar 1% pada hari Jumat dan penurunan harga minyak Brent berlanjut di pagi hari ini hingga mencapai 3%. Penurunan ini disebabkan oleh kekhawatiran terhadap kondisi makroekonomi serta tindakan para pelaku pasar yang mengambil keuntungan (profit-taking).
Meskipun demikian, hingga kuartal III 2023, harga minyak telah mencatatkan kenaikan sekitar 30% secara kuartalan, terutama karena pengurangan produksi yang dilakukan oleh OPEC+ yang telah berhasil menekan pasokan minyak mentah global.
Dengan harga minyak berjangka yang mendekati angka US$100 per barel, banyak investor memutuskan untuk mengambil keuntungan dari reli harga tersebut, terutama mengingat adanya kekhawatiran terkait kondisi makroekonomi saat ini.
Aktivitas di sektor minyak dan gas di tiga negara bagian penghasil energi AS mengalami peningkatan seiring dengan lonjakan harga minyak yang terjadi belakangan ini, menurut survei yang dilakukan oleh The Federal Reserve Bank of Dallas.
Pada bulan Juli, produksi minyak mentah AS mencapai level tertinggi sejak November 2019, berdasarkan data dari Badan Informasi Energi (EIA). Namun, jumlah rig minyak dan gas AS, yang merupakan indikator awal produksi di masa depan, mengalami penurunan sebanyak tujuh rig hingga mencapai angka 623 dalam minggu yang berakhir pada tanggal 29 September. Angka tersebut merupakan yang terendah sejak Februari 2022, menurut laporan dari perusahaan jasa energi Baker Hughes.
Meskipun jumlah total rig mengalami penurunan sebanyak 51 rig pada kuartal ketiga, pengurangan ini terjadi dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan kuartal kedua, hal ini disebabkan oleh pulihnya harga minyak akibat pengetatan pasokan.
Menurut survei yang dikumpulkan oleh Reuters pada hari Jumat, Brent diperkirakan akan memiliki harga rata-rata sekitar US$89,85 per barel pada kuartal keempat tahun 2023 dan US$86,45 pada tahun 2024. Para analis juga mencatat bahwa pertemuan panel tingkat menteri OPEC+ yang akan berlangsung pada tanggal 4 Oktober memiliki potensi untuk mempengaruhi harga minyak, terutama melalui pengurangan pasokan sukarela yang kemungkinan akan dilakukan oleh produsen minyak negara Arab Saudi.
Namun, meskipun terdapat spekulasi mengenai kenaikan harga minyak hingga mencapai angka US$100 per barel, beberapa ahli mengingatkan bahwa kenaikan ini mungkin tidak akan berlangsung lama karena faktor-faktor seperti sifat buatan dari kekurangan pasokan dan kondisi makroekonomi yang masih rapuh. Suvro Sarkar, pemimpin tim sektor energi di DBS Bank, memberikan pandangan bahwa kondisi ini dapat mempengaruhi ketahanan harga minyak.
Disclaimer : Artikel ini hanya bersifat informasional dan tidak mengandung rekomendasi investasi.