Harga batu bara mengalami penurunan pekan lalu, namun diharapkan akan sedikit membaik dalam pekan ini berkat meningkatnya permintaan dari India dan China, serta kabar baik dari Eropa.
Pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (12/6/2023), harga batu bara kontrak dua bulan atau Juli di pasar ICE Newcastle ditutup pada posisi US$ 133,05 per ton, mengalami penurunan sebesar 4,77%.
Secara keseluruhan, harga batu bara mengalami penurunan sebesar 7,41% dalam pekan tersebut. Hal ini berbeda dengan lonjakan harga sebesar 7,11% pada pekan sebelumnya.
Pergerakan harga batu bara pekan ini masih akan dipengaruhi oleh harga gas alam serta perkembangan gelombang panas di China dan India.
[tv-chart symbol=”NCF1!” width=”420″ height=”240″ language=”en” interval=”D” timezone=”Asia/Bangkok” theme=”White” style=”2″ toolbar_bg=”#f1f3f6″ enable_publishing=”” hide_top_toolbar=”” withdateranges=”” hide_side_toolbar=”” allow_symbol_change=”” save_image=”” details=”” hotlist=”” calendar=”” stocktwits=”” headlines=”” hideideas=”” hideideasbutton=”” referral_id=””]
Harga gas alam Eropa EU Dutch TTF (EUR) naik sebesar 9% dalam pekan lalu, mencapai 35,01 euro per mega-watt hour (MWh). Kenaikan ini melanjutkan tren penguatan harga gas yang sebelumnya juga mengalami lonjakan sebesar 35,3% dalam pekan tersebut.
Kenaikan harga gas tersebut dipicu oleh gangguan pasokan setelah Belanda memutuskan untuk menutup ladang gas Groningen mereka. Pengurangan pasokan dari Norwegia diperkirakan akan berlanjut dalam pekan ini, sehingga harga gas masih berpotensi tetap tinggi.
Batu bara merupakan sumber energi alternatif bagi gas alam, sehingga harga keduanya saling mempengaruhi. Dalam hal ini, harga batu bara diharapkan membaik seiring dengan peningkatan permintaan di India dan China akibat gelombang panas yang tengah melanda. Beberapa kota di China, seperti Beijing, mengalami kenaikan suhu sekitar 4% di atas rata-rata.
Kenaikan suhu tidak hanya berdampak pada peningkatan permintaan listrik untuk pendingin ruangan, tetapi juga menyebabkan produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) menurun drastis.
Dalam periode Januari-Mei, produksi listrik di China mengalami peningkatan sebesar 5,3% atau sekitar 173 miliar kilowatt-hour (kWh). Pembangkit batu bara menyumbang 149 miliar kWh, sementara produksi listrik dari PLTA justru turun sebesar 82 miliar kWh.
Dua provinsi yang menjadi penyumbang utama PLTA, yaitu Sichuan dan Yunnan, menghadapi kondisi kekeringan. Produksi listrik dari kedua provinsi tersebut pada periode Januari-Mei 2023 bahkan mencapai titik terendah sejak 2015.
Jika kondisi tersebut terus memburuk, China berpotensi meningkatkan impor batu bara sepanjang bulan Juni ini. Pada bulan Mei, impor batu bara China mengalami penurunan sebesar 2,7% dibandingkan dengan bulan April, tetapi secara akumulatif, impor batu bara meningkat sebesar 89,6% menjadi 182 juta ton pada periode Januari-Mei 2023.
India juga menghadapi gelombang panas saat ini. Wilayah tengah, utara, dan barat daya India mengalami gelombang panas sejak pekan lalu, dengan suhu mencapai 42-44 derajat Celsius.
Untuk mengantisipasi lonjakan penggunaan listrik, pemerintah India telah meminta pembangkit untuk meningkatkan kapasitasnya. Kementerian Listrik India, pada Senin (12/6/2023), mengumumkan kewajiban operasi dengan kapasitas penuh bagi pembangkit yang menggunakan batu bara impor hingga 30 September mendatang.
Kapasitas operasi penuh tersebut diperlukan untuk memenuhi permintaan listrik yang tinggi di tengah peningkatan suhu udara.
Kabar baik juga datang dari Eropa, dimana Uni Eropa kemungkinan besar akan mengizinkan anggotanya untuk memperpanjang usia pembangkit batu bara. Proposal ini akan dibahas dalam waktu dekat dan diharapkan akan diputuskan paling lambat pekan depan.
Pembangkit batu bara yang sudah terpasang sejak Juli 2019 akan diizinkan untuk tetap beroperasi dengan beberapa ketentuan untuk membatasi emisi karbon.
Salah satu negara yang berharap agar operasional batu bara dapat berlanjut adalah Polandia, yang masih mengandalkan batu bara untuk 70% produksi listriknya.