Pada pekan ini, terjadi penurunan harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) di Bursa Malaysia Exchange sebesar 3,29%, mencapai posisi MYR 3.620 per ton. Harga CPO hanya menguat dua kali di awal dan akhir pekan dalam lima hari perdagangan, sedangkan selama empat hari beruntun mengalami penurunan. Menurut laporan dari Refinitiv, harga CPO pada akhir pekan Jumat (23/6/2023) mengalami kenaikan sebesar 1,63%, mencapai posisi MYR 3.620 per ton. Meskipun terjadi kenaikan, harga CPO sebelumnya telah turun menjadi level MYR 3.600 setelah berada di level MYR 3.700 selama tiga hari perdagangan sejak tanggal 17 Juni hingga 19 Juni 2023.
Akibat penurunan harga pada pekan ini, harga CPO telah mengalami koreksi sebesar 13,27% secara tahunan, namun tetap mencatatkan penguatan sebesar 13,09% dalam sebulan terakhir. Pada pekan ini, sentimen negatif masih menghantui harga CPO, yang membuatnya sulit untuk melanjutkan tren penguatan setelah mengalami kenaikan pada pekan sebelumnya. Penurunan momentum penjualan minyak kedelai dan mandat biofuel yang lebih rendah dari perkiraan di Amerika Serikat juga turut membebani harga.
Pasar terlihat sedang mengambil nafas setelah mengalami reli yang kuat pada minggu sebelumnya di hampir setiap minyak sayur dan biji minyak global. Anilkumar Bagani, kepala penelitian broker minyak nabati Sunvin Group yang berbasis di Mumbai, mengungkapkan hal ini.
Penurunan harga dipicu oleh rencana Amerika Serikat untuk menerapkan mandat biofuel yang lebih kecil dari yang awalnya diusulkan. Pemerintah Amerika Serikat berencana meningkatkan jumlah biofuel yang harus dicampur oleh kilang minyak ke dalam campuran bahan bakar nasional selama tiga tahun ke depan, namun rencana tersebut mencakup mandat yang lebih rendah untuk etanol berbasis jagung daripada yang awalnya diusulkan, demikian disampaikan oleh dua sumber yang mengetahui masalah tersebut.
Sementara itu, Malaysia telah mempertahankan pajak ekspor sebesar 8% untuk minyak sawit mentah pada bulan Juli dan menurunkan harga acuannya, sesuai dengan surat edaran yang diterbitkan oleh Dewan Minyak Sawit Malaysia.
[tv-chart symbol=”CPO1!” width=”420″ height=”240″ language=”en” interval=”D” timezone=”Asia/Bangkok” theme=”White” style=”2″ toolbar_bg=”#f1f3f6″ enable_publishing=”” hide_top_toolbar=”” withdateranges=”” hide_side_toolbar=”” allow_symbol_change=”” save_image=”” details=”” hotlist=”” calendar=”” stocktwits=”” headlines=”” hideideas=”” hideideasbutton=”” referral_id=””]
Berdasarkan data dari surveyor Intertek Testing Services, ekspor produk minyak sawit Malaysia pada periode 1-20 Juni mengalami penurunan sebesar 16,8% dibandingkan bulan Mei. Sedangkan menurut surveyor kargo AmSpec Agri Malaysia, ekspor mengalami penurunan sebesar 12,9%.
Pelemahan harga sawit diperparah oleh melemahnya nilai tukar ringgit (MYR), mata uang yang digunakan dalam perdagangan sawit. Nilai tukar ringgit terpantau mengalami penurunan sebesar 0,11% terhadap dolar pada perdagangan kemarin, mencapai level terendah sejak November, sehingga membuat komoditas ini lebih terjangkau bagi pembeli yang menggunakan mata uang asing.
Di sisi lain, terdapat sentimen positif dari India menjelang akhir pekan, yang setidaknya dapat mencegah terjadinya penurunan harga yang signifikan pada pekan ini. Menurut lima dealer yang diwawancarai oleh Reuters, impor minyak sawit India pada bulan Juni diperkirakan meningkat sebesar 46% dibandingkan bulan sebelumnya, mencapai level tertinggi dalam tiga bulan. Hal ini disebabkan oleh pembeli yang memanfaatkan penurunan harga sawit menjadi level terendah dalam 28 bulan untuk meningkatkan pembelian. Rebound dalam pembelian oleh importir minyak nabati terbesar di dunia ini akan mendukung harga minyak sawit dan membantu produsen utama Indonesia dan Malaysia untuk mengurangi persediaan.
Impor minyak sawit oleh India diperkirakan meningkat menjadi 640.000 ton pada bulan Juni, naik dari 439.173 ton pada bulan Mei berdasarkan perkiraan rata-rata dari para dealer. Impor pada bulan Mei merupakan yang terendah sejak Februari 2021 karena minyak tropis telah diperdagangkan dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan minyak kedelai dan minyak bunga matahari selama beberapa bulan terakhir, sehingga mendorong pembeli untuk beralih ke minyak lunak yang lebih murah.
Koreksi harga baru-baru ini membuat minyak sawit kembali menjadi komoditas yang kompetitif dan mendorong pembeli di Asia, yang biasanya peka terhadap perubahan harga, untuk meningkatkan pembelian karena harganya yang lebih rendah dan waktu pengirimannya yang lebih cepat.