BeritaInvestor.id – Saat ini, sektor perkebunan kelapa sawit (CPO) sedang menghadapi situasi yang penuh potensi. Dalam pembaruan rekomendasi terbaru, kami memberikan status “OVERWEIGHT” terhadap sektor ini. Keyakinan ini didorong oleh berbagai faktor yang menjanjikan, seperti proyeksi harga CPO global yang positif, dengan harapan mencapai RM 4.000/MT pada FY23 dan bahkan RM 4.200-4.400/MT pada FY24-25. Hal ini menjadi kabar baik, terutama jika dibandingkan dengan harga saat ini yang berada di angka RM 3.790/MT.
Permintaan CPO Meningkat
Salah satu pemicu perubahan ini adalah lonjakan permintaan terhadap CPO, terutama karena harga CPO memiliki keunggulan yang signifikan dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, khususnya minyak kedelai. Saat ini, harga minyak kedelai global diperdagangkan dengan premi sekitar 72% dibandingkan dengan CPO. Ini merupakan perubahan signifikan jika dibandingkan dengan masa lalu di mana harga kedelai cenderung berada sekitar 22% di atas harga CPO selama FY17-22. Perbedaan ini terjadi akibat gagal panen kedelai di Argentina, produsen kedelai terbesar ketiga di dunia, yang disebabkan oleh musim kemarau tiba-tiba.
Peningkatan Permintaan CPO di India dan China
Perbedaan harga yang signifikan ini telah memicu peningkatan volume impor minyak kelapa sawit oleh India. Pada bulan Juli 2023, impor minyak kelapa sawit oleh India melonjak menjadi 1,1 juta ton (+61% MoM). Tidak hanya itu, Tiongkok telah menandatangani kesepakatan dengan Indonesia untuk mengimpor tambahan 1 juta ton CPO pada FY23-24. Dengan demikian, diperkirakan bahwa ekspor tahunan CPO Indonesia ke Tiongkok akan meningkat dari 6 juta ton pada FY22 menjadi 7-8 juta ton pada FY23-24.
Tantangan Pasokan CPO Diperkirakan Menurun
Namun, potensi penurunan terletak pada sisi pasokan CPO. Diproyeksikan bahwa produksi CPO gabungan Indonesia dan Malaysia pada FY23-24 akan mengalami penurunan menjadi 64,6 juta/63,5 juta ton (dibandingkan dengan 65,6 juta ton pada FY22) sebagai akibat dari pengaruh El Nino pada tahun ini. Data curah hujan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa Sumatera akan lebih terdampak oleh El Nino dibandingkan dengan Kalimantan. Penting untuk dicatat bahwa Sumatera dan Kalimantan masing-masing berkontribusi sekitar 28% dan 41% terhadap produksi CPO total Indonesia pada FY22.
Potensi Penurunan Produksi CPO di Indonesia
Selain pengaruh cuaca buruk, potensi penurunan produksi CPO di Indonesia juga disebabkan oleh aktivitas peremajaan yang rendah, yang mengakibatkan penuaan cepat pada pohon kelapa sawit di perkebunan. Penyakit Ganoderma telah memaksa banyak perkebunan kelapa sawit di Sumatera untuk menghentikan aktivitas peremajaan. Sayangnya, belum ada penanganan yang efektif untuk penyakit ini.
Harapan dari Harga CPO yang Lebih Tinggi dan Biaya Pupuk yang Lebih Rendah
Adanya harga pupuk global yang lebih rendah merupakan kabar baik bagi para pelaku industri perkebunan kelapa sawit. Harga pupuk di Brasil dan Amerika Utara turun sekitar 28% hingga 57% sepanjang tahun ini karena banyak negara dan perusahaan meningkatkan kapasitas produksi komponen pupuk. Fitch Ratings memperkirakan bahwa harga urea (FOB Middle East)/fosfat (FOB Maroko)/kalium (FOB Vancouver) akan turun menjadi USD 350/250/400 per ton pada FY23F, dan kemungkinan akan terus menurun hingga FY24F.
Kesimpulan: Tantangan yang Teratasi oleh Peluang Cerah
Dengan harga CPO yang lebih tinggi dan biaya pupuk yang lebih rendah, sektor perkebunan kelapa sawit Indonesia memiliki peluang untuk pertumbuhan laba yang kuat dalam beberapa tahun ke depan. Dalam hal prioritas perusahaan, kami memberikan peringkat paling atas kepada PT TAPG (BUY TP: IDR 775/saham) berkat produktivitas pohon kelapa sawit yang unggul. PT DSNG (TP: IDR 770/saham) dan PT NSSS (TP: IDR 222/saham) juga menawarkan peluang yang menjanjikan berkat produktivitas yang tinggi dan pertumbuhan laba yang kuat yang diantisipasi.
Disclamer : keputusan pembelian / penjualan Saham sepenuhnya ada di tangan investor