BeritaInvestor.id – Harga minyak naik tipis pada Senin (11/12/2023), setelah turun selama tujuh minggu berturut-turut. Kenaikan harga ini disebabkan oleh pengurangan produksi OPEC+, tetapi masih dibayangi oleh kekhawatiran kelebihan pasokan dan pertumbuhan permintaan bahan bakar yang lebih lemah pada tahun depan.
Minyak mentah berjangka Brent naik 19 sen (0,3%) menjadi US$ 76,03 per barel. Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik 9 sen (0,1%) pada US$ 71,32.
Kedua kontrak tersebut melonjak lebih dari 2% pada Jumat (8/12/2023), tetapi turun selama tujuh minggu berturut-turut, penurunan mingguan terpanjang sejak 2018, di tengah kekhawatiran kelebihan pasokan yang masih ada.
“Tidak ada keraguan bahwa minyak masih berada dalam kondisi rentan,” kata John Evans dari pialang minyak PVM dalam sebuah catatan pada hari Senin.
Meskipun kelompok OPEC+, yang terdiri dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya termasuk Rusia, berjanji untuk memangkas produksi minyak mentah sebesar 2,2 juta barel per hari (bpd) pada kuartal pertama, investor tetap skeptis terhadap kepatuhan.
“Anggota yang berpartisipasi dalam pembatasan produksi tidak hanya melihat penurunan pendapatan dari volume yang lebih kecil tetapi juga dari anjloknya harga yang terjadi setelah keputusan terakhir OPEC+,” kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates LLC di Galena, Illinois.
Pertumbuhan output di negara-negara non-OPEC diperkirakan akan menyebabkan kelebihan pasokan pada tahun depan.
RBC Capital Markets memperkirakan penarikan pasokan sebesar 700 ribu barel per hari pada semester pertama, namun hanya 140 ribu barel per hari untuk setahun penuh.
“Harga akan tetap berfluktuasi dan tidak memiliki arah sampai pasar melihat data yang jelas mengenai penurunan produksi secara sukarela,” kata analis RBC dalam sebuah catatan.
Para analis menyebut, dengan pemotongan yang belum dilaksanakan sampai bulan depan, minyak menghadapi volatilitas selama dua bulan sebelum adanya kejelasan dari data kepatuhan yang dapat diukur.
Data indeks harga konsumen terbaru dari China, importir minyak terbesar di dunia, menunjukkan meningkatnya tekanan deflasi karena lemahnya permintaan domestik menimbulkan keraguan terhadap pemulihan ekonomi negara tersebut.
Para pejabat China pada Jumat (8/12/2023) berjanji untuk memacu permintaan domestik dan mengkonsolidasikan serta meningkatkan pemulihan ekonomi pada 2024.
Minggu ini, investor mengamati panduan kebijakan suku bunga dari pertemuan lima bank sentral, termasuk The Fed, serta data inflasi AS untuk menilai potensi dampaknya terhadap perekonomian global dan permintaan minyak.
Pelemahan harga baru-baru ini menarik permintaan dari Amerika Serikat, yang telah mencatatkan hingga 3 juta barel minyak mentah untuk Cadangan Minyak Strategis (SPR) pada Maret 2024.
“Kami tahu Pemerintahan Biden sedang mencari cara untuk mengisi ulang SPR, yang akan memberikan dukungan,” kata analis IG Tony Sycamore dalam sebuah catatan, menambahkan bahwa harga juga didukung oleh indikator grafik teknis.
Sementara itu, rancangan perjanjian iklim pada KTT COP28 pada Senin (11/12/2023) menyarankan sejumlah opsi yang bisa diambil negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, namun mengabaikan ‘penghentian bertahap’ bahan bakar fosil yang diminta banyak negara.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan tolok ukur utama keberhasilan COP28 adalah apakah COP28 menghasilkan kesepakatan untuk menghentikan penggunaan batu bara, minyak, dan gas secara cepat untuk mencegah bencana perubahan iklim.
Disclamer : keputusan pembelian / penjualan Saham sepenuhnya ada di tangan investor