Jakarta – Hingga penutupan perdagangan pada Selasa (30/5/2023), nilai tukar rupiah sekali lagi melemah sebesar 0,11% menjadi Rp14.980/US$ di pasar spot. Ini menandai pelemahan kelima secara berturut-turut. Sejak awal Mei, mata uang rupiah telah terdepresiasi sebesar 2,15%.
Pelemahan ini terjadi seiring dengan pembahasan pagu utang Amerika Serikat (AS) yang menjadi fokus perhatian pasar. Kabar baiknya, Presiden Joe Biden dan Ketua DPR dari Partai Republik Kevin McCarthy telah sepakat untuk meningkatkan pagu utang AS. Saat ini, para investor sedang menunggu persetujuan dari kongres agar pagu utang AS resmi dinaikkan.
Di sisi lain, pelaku pasar juga memantau kondisi manufaktur China yang masih berada dalam kondisi kontraksi. Hal ini terlihat dari Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager Index/PMI) manufaktur yang akan dirilis besok, Rabu (31/5/2023), dengan proyeksi masih di bawah angka 50.
Meskipun demikian, Bank Indonesia (BI) tetap optimis bahwa stabilitas nilai tukar rupiah akan terjaga berkat surplus transaksi berjalan dan kinerja ekspor yang kuat. Selain itu, aliran dana dari investor asing juga diperkirakan akan terus berlanjut sejalan dengan prospek ekonomi yang tetap positif, inflasi yang rendah, dan tingkat imbal hasil yang menarik.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada bulan Mei 2023, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan bahwa prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2023 masih berada dalam kisaran 4,5% – 5,3%.
Selain itu, dalam rapat tersebut, BI juga memutuskan untuk menahan suku bunga untuk keempat kalinya berturut-turut, sejalan dengan inflasi inti yang berada pada level 2,83% pada bulan April 2023. Angka ini sesuai dengan target BI sebesar 3% +/- 1%.
Untuk diketahui, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) hingga bulan April 2023 masih berada pada posisi 4,33%. BI yakin bahwa inflasi ini akan turun sesuai dengan target pada paruh kedua tahun 2023.
Selain itu, dalam upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, BI telah mengeluarkan time deposit valas dengan tingkat imbal hasil yang menarik, mulai dari 5,10% hingga 5,50%, dengan jangka waktu penyimpanan yang bervariasi antara satu hingga enam bulan.
Harapannya, instrumen baru ini dapat mempertahankan devisa hasil ekspor lebih lama di dalam negeri, sehingga cadangan devisa tetap kuat dan stabilitas nilai tukar rupiah dapat terus terjaga.