BeritaInvestor.id – Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporan terbaru mereka, Survei Ekonomi OECD Indonesia edisi November 2024, menyoroti dominasi Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang terbesar Surat Berharga Negara (SBN). Dominasi ini merupakan dampak dari kebijakan berbagi beban (burden sharing) bersama Kementerian Keuangan pada 2020–2022, yang bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi selama pandemi. Meskipun kebijakan tersebut telah berakhir pada 2023, porsi kepemilikan BI atas SBN tetap tinggi.
Menurut data OECD, BI saat ini memegang 28% utang pemerintah, sementara institusi keuangan non-bank memegang 36,1%, perbankan 17,9%, dan asing atau non-residents 17,9%. Sebagai perbandingan, pada awal 2019, kepemilikan BI hanya 5%, asing mendominasi dengan 45,2%, perbankan 21,8%, dan institusi non-bank 28,1%.
Dampak dan Tantangan
OECD mencatat bahwa sejak Maret 2021, BI menggantikan posisi investor asing sebagai pemegang utama utang pemerintah. Hal ini dianggap mengurangi kerentanan Indonesia terhadap risiko rollover, yakni risiko gagal perpanjangan utang saat jatuh tempo.
Namun, OECD mengingatkan potensi tantangan ke depan. Jika BI mulai mengurangi kepemilikan SBN dan menarik likuiditas dari pasar, kapasitas pasar domestik untuk menyerap utang tambahan mungkin akan teruji, terutama jika investor asing tidak kembali menjadi pembeli utama di pasar primer.
“Kapasitas pasar untuk menyerap utang tambahan mungkin akan diuji jika investor asing tidak kembali menjadi pembeli marginal di pasar primer,” tulis OECD dalam laporan tersebut.
Instrumen Baru dan Kepemilikan SRBI
Dalam upaya mendukung stabilitas keuangan, BI meluncurkan Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) pada September 2023. SRBI adalah instrumen moneter yang menggunakan SBN sebagai aset dasar (underlying asset) dan dapat diperdagangkan, berbeda dengan aset sebelumnya yang tidak dapat diperdagangkan.
Laporan OECD mencatat bahwa SRBI menarik minat investor asing, dengan kepemilikan asing mencapai 26% per Juni 2024. Instrumen ini membantu memperkuat neraca keuangan dan cadangan devisa Indonesia, sekaligus mendorong bank untuk menukar SBN jangka panjang mereka dengan SRBI.
Namun, OECD juga mencatat peningkatan kepemilikan neto BI atas SBN, dari 16,1% pada September 2023 menjadi 21,4% pada Juni 2024, meskipun kepemilikan bruto relatif stabil, yakni dari 24,7% menjadi 24,5%.
Rekomendasi OECD
OECD menyarankan agar kepemilikan SBN oleh BI secara bertahap dikurangi melalui pelunasan utang. Meskipun demikian, tingkat kepemilikan BI atas SBN diperkirakan tetap signifikan karena pembelian sekunder, terutama yang terkait dengan operasi pasar terbuka dan instrumen SRBI.
OECD menegaskan bahwa keberlanjutan pasar utang Indonesia memerlukan upaya untuk menarik kembali investor asing ke pasar primer, mengingat peran mereka yang sebelumnya dominan. Upaya ini penting untuk memastikan stabilitas jangka panjang dalam pembiayaan utang pemerintah.
Disclamer : keputusan pembelian / penjualan Saham sepenuhnya ada di tangan investor