BeritaInvestor.id – Donald Trump semakin mengancam mitra dagang AS dengan kebijakan tarifnya, menciptakan kekhawatiran baru akan potensi inflasi global. Pertumbuhan harga konsumen yang tidak terkendali telah muncul bahkan sebelum Trump resmi menjabat. Dengan peningkatan ketegangan berdasarkan langkah-langkahnya terhadap China, para analis mulai meragukan daya tahan disinflasi secara global.
Carsten Brzeski, kepala riset makro global ING, berkomentar, “Perang tarif pasti memicu inflasi, itu tidak perlu diragukan lagi.” Ia menambahkan bahwa berbagai faktor seperti penuaan populasi dan perubahan iklim turut memperburuk dampak inflasi saat ini. Ia juga mengatakan bahwa tidak ada indikasi inflasi akan terus rendah dalam jangka panjang.
Meskipun saat ini China tampak stabil dari tekanan harga, pelbagai negara lain bisa mengalami kesulitan, terutama saat tarif mulai berlaku. Tekanan inflasi latent juga muncul dari berbagai sumber, baik domestik maupun internasional. Di AS, pasar tenaga kerja yang kuat membuat Federal Reserve terus memantau situasi karena kebijakan Trump yang dapat mempengaruhi hasil obligasi. Di sisi lain, penguatan dolar berdampak negatif pada pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Data terbaru menunjukkan bahwa inflasi di zona euro berada di atas ekspektasi, dan kemungkinan Bank of England akan merevisi proyeksi inflasi dalam waktu dekat. Kedatangan Trump di kursi kepresidenan hanya memperburuk kekhawatiran inflasi. Meskipun IMF menyatakan bahwa perang melawan inflasi hampir dimenangkan, para pemimpin di Konferensi Ekonomi Dunia (WEF) di Davos masih meragukan pernyataan tersebut.
Survei Bank of America mengindikasikan bahwa para manajer investasi global memperkirakan kembali lahirnya inflasi dengan fokus pada tahun 2025. Sementara itu, ekspektasi inflasi di AS, Eropa, dan Jepang meningkat pesat sejak Trump menjadi calon kuat presiden, dengan semua indeks inflasi diperdagangkan di atas 2%.
Para analis di Morgan Stanley juga mulai meninjau kembali proyeksi inflasi mereka, membatalkan prediksi pemangkasan suku bunga oleh The Fed pada bulan Maret mendatang. Dan, Gubernur Bank Sentral AS, Jerome Powell, menyatakan bahwa mereka tidak terburu-buru untuk menurunkan suku bunga, melainkan akan memantau dampak dari kebijakan tarif Trump.
Gubernur Fed San Francisco, Mary Daly, menekankan bahwa saat ini tidak ada kebutuhan untuk mengambil keputusan yang prematur. “Pekerjaan menurunkan inflasi hingga 2% belum selesai,” katanya.
Kekhawatiran terhadap inflasi akibat kebijakan tarif terus berkembang, dengan Seema Shah dari Principal Asset Management mengingatkan pentingnya kewaspadaan terhadap ekspektasi inflasi yang dapat meningkat. Sementara itu, di Eropa, Christine Lagarde dari Bank Sentral Eropa menilai bahwa inflasi impor tidak menjadi masalah besar, bahkan saat inflasi kawasan euro menunjukkan lonjakan tak terduga.
Situasi ini juga diikuti dengan survei dari ECB yang menunjukkan bahwa mayoritas ekonom kini lebih khawatir tentang tekanan harga di atas 2% dalam jangka menengah. Di Inggris, survei Bank of England menunjukan potensi peningkatan pertumbuhan upah, dengan beberapa perusahaan sudah mulai menaikkan harga.
Siapakah yang paling berisiko terkena dampak inflasi akibat kebijakan Trump? Tentu saja, negara-negara di Asia yang masih bergantung pada stabilitas harga dalam rangka pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, meskipun terjadi penurunan harga konsumen yang signifikan karena subsidi, inflasi inti justru menunjukkan peningkatan yang tak terduga. Dalam hal ini, intervensi dari bank sentral menjadi langkah yang penting untuk menjaga nilai tukar.
Sementara itu, infasi konsumen di Korea Selatan dan Jepang menunjukkan tren kenaikan seiring dengan meningkatnya biaya energi dan makanan. Di Australia, pasar memperkirakan bank sentral akan segera mulai menurunkan suku bunga, tetapi analisis menunjukkan bahwa kekuatan pasar tenaga kerja masih dapat menghalangi langkah tersebut.
Walau masih banyak ketidakpastian terkait langkah-langkah tarif AS, dampak negatif terhadap pertumbuhan global dan harga barang tampaknya tak terhindarkan. Bank untuk Penyelesaian Internasional bahkan telah memperingatkan mengenai potensi stagflasi, situasi yang dapat menciptakan tantangan baru bagi ekonomi global.
Secara khusus untuk AS, Aditya Bhave dari Bank of America mencatat bahwa langkah-langkah Trump kali ini memiliki nuansa yang berbeda, terutama dalam konteks inflasi yang masih menjadi masalah utama.
Disclaimer: Keputusan pembelian / penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.