BeritaInvestor.id – Pasar Asia Tenggara memiliki potensi untuk mendapatkan keuntungan dari pergeseran rantai pasokan dari China ke wilayah tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara yang siap menerima arus investasi langsung dari luar negeri (FDI). Saat ini, China mengalami perlambatan ekonomi yang signifikan. Aktivitas pabrik di China mengalami kontraksi selama tiga bulan berturut-turut pada bulan Juni 2023.
Selain itu, aktivitas non-manufaktur juga berada pada titik terlemah sejak kebijakan ketat nol-Covid diakhiri di akhir tahun 2022. Data terbaru menunjukkan pemulihan yang tidak merata terjadi di negara ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut, akibat dari momentum pertumbuhannya yang melemah.
Berdasarkan data dari Biro Statistik Nasional yang dirilis pada Jumat (30/6/2023), indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur resmi China mencapai level 49,0 pada bulan Juni, dibandingkan dengan 48,8 pada Mei dan 49,2 pada April.
Sementara itu, PMI manufaktur China versi Caixin/S&P Global, yang dirilis pada Senin (3/7), mengalami penurunan menjadi 50,5 pada bulan Juni dari 50,9 pada bulan Mei, meskipun masih berada dalam area ekspansi (>50).
Wang Zhe, seorang ekonom senior di Caixin Insight Group, menyatakan bahwa banyak data ekonomi terbaru menunjukkan bahwa pemulihan China belum menemukan pijakan yang stabil. Masalah utamanya termasuk kurangnya pendorong pertumbuhan internal, permintaan yang lemah, dan prospek yang meredup tetap ada, seperti yang dikutip dari CNBC International pada Senin (3/7).
Menurut Rajiv Batra, ahli strategi ekuitas Asia Tenggara dan pasar emerging (EM) di JPMorgan Chase & Co, meskipun perlambatan ekonomi China berdampak pada eksportir di wilayah Asia Tenggara, terdapat keuntungan dalam bentuk pergeseran rantai pasokan ke wilayah tersebut.
“Asia Tenggara tetap berada dalam posisi yang menguntungkan,” kata Rajiv Batra, sebagaimana dilaporkan oleh Bloomberg pada Selasa (4/7).
JPMorgan memberikan peringkat overweight (prospek bagus) untuk Indonesia dan Vietnam karena keduanya berada di garis depan dalam menarik arus investasi langsung dari pergeseran rantai pasokan, friend-shoring, dan nearshoring. Di sisi lain, JPMorgan memberikan peringkat netral untuk Singapura, sedangkan Malaysia dan Filipina mendapatkan peringkat underweight (prospek kurang baik).
Meskipun Indeks Saham MSCI ASEAN mengalami penurunan sekitar 3,5% sepanjang tahun ini, tertinggal dibandingkan dengan Indeks Saham MSCI Emerging Markets yang mencatatkan return sekitar 5% dalam periode yang sama, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia juga masih mengalami penurunan sebesar 2,39% year to date (YtD) setelah mengalami kebangkitan pada tahun lalu.
Meskipun pasar saham masih tertekan, JPMorgan memperkirakan bahwa bank sentral di Asia Tenggara akan mempertahankan suku bunga pada paruh kedua tahun 2023. Bank sentral di wilayah ini tidak menaikkan suku bunga sebanyak bank sentral di pasar berkembang global karena tingkat inflasi yang lebih terkendali, sehingga kemungkinan akan mengumumkan sedikit penurunan suku bunga setelah jeda di paruh kedua tahun ini.
Hal ini secara tidak langsung dapat menguntungkan pasar saham domestik yang saat ini membutuhkan katalis positif untuk membalikkan kinerja negatif menjadi positif. Investor, termasuk investor asing, tampaknya masih mempertimbangkan untuk masuk ke pasar saham Indonesia. Alasan di balik hal ini bervariasi, salah satunya adalah kontestasi dalam pemilihan presiden pada Pemilu 2024. Investor tentu membutuhkan sosok calon presiden yang pro-investasi dan mampu menjaga momentum pemulihan ekonomi Indonesia.
Beberapa faktor yang menguntungkan pasar saham Indonesia saat ini antara lain adalah valuasi IHSG yang tergolong murah (rasio P/E 13-14 kali) dibandingkan dengan rerata historis dan pasar Asia, reli saham AS yang sudah tinggi sehingga dapat menjadi kesempatan bagi dana untuk dialihkan ke pasar-pasar berkembang (EM), termasuk Indonesia, serta dimulainya rilis kinerja keuangan kuartal II-2023.
Disclamer : keputusan pembelian /penjualan Saham sepenuhnya ada di tangan investorAkses Website Berita Investor