BeritaInvestor.id – Dalam beberapa pekan terakhir, pasar minyak dunia telah menjadi pusat perhatian dunia ekonomi. Harga minyak mentah Brent mencapai US$88,55 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) mencapai US$85,55 per barel. Kenaikan ini tidak hanya signifikan, tetapi juga mencatatkan rekor tertinggi sepanjang tahun 2023. Dalam kurun waktu seminggu, harga keduanya melonjak masing-masing sebesar 4,82% dan 7,17%.
Kenaikan harga minyak dunia ini dipicu oleh ekspektasi yang kuat terkait kelanjutan pemotongan produksi minyak oleh kelompok negara-negara produsen minyak OPEC+. Kelompok ini, yang dipimpin oleh Arab Saudi, telah berkomitmen untuk mengurangi produksi minyak guna menstabilkan harga di pasar global. Para analis memperkirakan bahwa Arab Saudi akan memperpanjang pengurangan produksi minyak secara sukarela sebesar 1 juta barel per hari hingga bulan Oktober mendatang. Hal ini akan menambah pengurangan yang telah dilakukan oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+.
Ole Hansen, seorang analis dari Saxo Bank, menyatakan, “Dengan harga Brent yang terhenti di pertengahan US$80an, prospek minyak mentah Arab Saudi kembali ke pasar dalam waktu dekat terlihat tipis dan dampaknya semakin terasa di seluruh dunia karena tingkat stok komersial minyak mentah dan produk bahan bakar terus berlanjut turun.”
Selain itu, data terbaru dari pemerintah AS menunjukkan bahwa produksi minyak mentah di negara tersebut naik sebesar 1,6% pada bulan Juni, mencapai 12,844 juta barel per hari. Ini adalah level tertinggi sejak Februari 2020, sebelum pandemi COVID-19 menghantam permintaan bahan bakar dan produk minyak.
Tingginya ekspor dan pengoperasian kilang di AS juga telah menyebabkan penurunan persediaan minyak mentah. Data pemerintah AS menunjukkan penurunan persediaan sebesar 10,6 juta barel dalam satu minggu, mengindikasikan bahwa permintaan terus tumbuh.
Kenaikan harga minyak juga mendapatkan dukungan dari peningkatan belanja konsumen AS. Pada bulan lalu, belanja konsumen AS meningkat sebesar 0,8%. S&P 500 bahkan mengalami kenaikan setelah data inflasi AS sesuai dengan perkiraan, yang menggarisbawahi harapan bahwa Federal Reserve dapat menghentikan pengetatan moneter.
Eric Rosengren, mantan presiden Fed Boston, mengatakan bahwa bank sentral AS dapat menghentikan kenaikan suku bunga jika pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi terus melambat dengan kecepatan yang bertahap.
Namun, ada faktor yang membatasi kenaikan harga minyak lebih lanjut, yaitu data pabrik Tiongkok yang lemah. Aktivitas manufaktur Tiongkok mengalami kontraksi pada bulan Agustus, meskipun angka tersebut sedikit meningkat dari bulan sebelumnya. Hal ini memicu kekhawatiran akan pelemahan perekonomian Tiongkok, negara terbesar kedua di dunia.
Di sisi lain, pemerintah AS juga menghadapi tantangan ekonomi internal. Mereka merevisi turun pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) untuk kuartal kedua, dan data menunjukkan perlambatan signifikan dalam pertumbuhan gaji swasta pada bulan Agustus.
Kenaikan harga minyak mentah dunia juga memiliki dampak langsung pada Indonesia. Harga Minyak Dunia yang meningkat dapat mengerek Indonesia Crude Price (ICP), yang digunakan sebagai ukuran harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Meskipun demikian, asumsi harga minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 masih berada di kisaran yang aman, yaitu US$90 per barel. Meskipun ada kenaikan, harga saat ini masih di bawah batas asumsi makro yang telah ditetapkan.
Disclaimer : Artikel ini hanya bersifat informasional dan tidak mengandung rekomendasi investasi.