BeritaInvestor.id – Kabar pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) atau Sritex menjadi pukulan telak bagi industri tekstil Indonesia. Perusahaan yang berdiri lebih dari 50 tahun ini resmi dinyatakan pailit setelah menghadapi krisis keuangan yang tak mampu ditangani. Padahal, Sritex sempat menjadi raja tekstil nasional, dikenal karena kualitas produknya, dan bahkan menjadi pemain besar dalam tender-tender pemerintah sejak era Orde Baru.
Bagaimana perusahaan sebesar Sritex bisa tumbang? Apa dampaknya bagi industri tekstil dan perekonomian nasional?
Utang Menggunung dan Ekuitas Negatif: Akar Masalah Sritex
Pailitnya Sritex disebabkan oleh utang yang sangat besar, hingga US$1,6 miliar (Rp25,01 triliun), jauh melebihi total aset yang dimiliki. Ekuitas perusahaan bahkan sudah mencapai angka negatif sebesar -US$980,56 juta, yang berarti perusahaan tidak lagi memiliki solvabilitas untuk menutupi kewajiban finansialnya.
- Liabilitas jangka panjang: US$1,47 miliar
- Liabilitas jangka pendek: US$131,42 juta
- Utang bank terbesar: US$809,99 juta (Rp12,66 triliun) ke 28 bank
Dengan kondisi keuangan yang terus memburuk, SRIL mengalami suspensi perdagangan saham sejak 18 Mei 2022 dan masuk daftar emiten yang berpotensi delisting oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak Mei 2023.
Dari Kejayaan hingga Kejatuhan: Bagaimana Sritex Bisa Bangkrut?
Sritex bukanlah perusahaan biasa. Didirikan oleh Haji Muhammad Lukminto (H.M. Lukminto) pada tahun 1966, Sritex berkembang pesat dan menjadi ikon industri tekstil Indonesia. Sejarah suksesnya tidak lepas dari dukungan pemerintahan Orde Baru.
Pada era Soeharto, Sritex mendapatkan kontrak eksklusif untuk seragam Korpri, Golkar, dan ABRI, yang memberinya pijakan kuat di industri. Dukungan kuat dari Keluarga Cendana, terutama melalui Harmoko, menjadikan Sritex sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia.
Namun, setelah reformasi, perlindungan pemerintah mulai berkurang. Pasar tekstil Indonesia mulai dibanjiri produk murah dari China, Vietnam, dan Bangladesh, yang membuat Sritex harus bersaing lebih keras. Ketergantungan pada tender pemerintah juga menjadi bumerang ketika kontrak-kontrak ini mulai menurun.
Kesalahan strategi bisnis dan manajemen keuangan yang buruk membuat Sritex tidak mampu bertahan dalam persaingan global. Alih-alih mengurangi liabilitas, perusahaan justru terus menambah utang hingga akhirnya mencapai titik kritis.
Dampak Pailitnya Sritex terhadap Industri dan Investor
Kejatuhan Sritex memberikan dampak besar, baik bagi industri tekstil maupun perekonomian Indonesia secara umum:
- Gelombang PHK Massal
Ribuan karyawan yang bergantung pada Sritex kini menghadapi ketidakpastian. Pabrik yang sebelumnya menjadi tulang punggung produksi nasional harus mengurangi operasional atau bahkan tutup. - Investor Ritel Rugi Besar
Saham SRIL yang telah disuspensi selama lebih dari 24 bulan berpotensi delisting secara permanen, membuat investor yang masih memegang saham ini kehilangan modalnya sepenuhnya. - Bank Menghadapi Kredit Macet
Dengan 28 bank memiliki eksposur utang terhadap Sritex, sektor perbankan juga terkena dampaknya. Kredit macet yang besar bisa memengaruhi kestabilan keuangan bank yang terkait. - Industri Tekstil Nasional Terpukul
Jika Sritex benar-benar tutup, maka akan ada lubang besar dalam ekosistem industri tekstil Indonesia, terutama dalam sektor produksi seragam dan garmen.
Apakah Sritex Bisa Bangkit?
Meskipun pailit, masih ada beberapa kemungkinan skenario ke depan:
- Restrukturisasi Utang: Jika ada investor strategis yang tertarik mengambil alih aset dan merestrukturisasi utang, Sritex mungkin masih bisa bertahan dengan model bisnis yang lebih sehat.
- Akuisisi oleh Perusahaan Lain: Perusahaan tekstil besar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, bisa membeli aset Sritex dan melanjutkan produksi di bawah manajemen baru.
- Likuidasi Total: Jika tidak ada solusi lain, seluruh aset Sritex akan dijual untuk melunasi utang, dan perusahaan ini akan benar-benar hilang dari industri tekstil Indonesia.
Disclamer : keputusan pembelian / penjualan Saham sepenuhnya ada di tangan investor