BeritaInvestor.id – Pada banyak pemberitaan, pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya menciptakan merek mi instan Indomie telah memicu perdebatan. Selama ini, kebanyakan orang percaya bahwa Indomie dibuat oleh Sudono Salim alias Liem Sie Long karena perusahaan yang sekarang mengelolanya, namun fakta terbaru mengungkap bahwa pencetus sebenarnya adalah seorang pengusaha bernama Djajadi Djaja.
Sejarah Industri Mi Instan di Indonesia Dimulai
Indonesia mengenal mi instan pada tahun 1968 ketika PT Lima Satu Sankyu meluncurkan produk Supermi. Dalam sebuah laporan, dijelaskan bahwa PT Lima Satu Sankyu merupakan hasil kolaborasi antara perusahaan Jepang, Sankyo Shokuhin Kabushiki Kaisha, dan PT Lima Satu yang dimiliki oleh Sjarif Adil Sagala dan Eka Widjaja Moeis. Kerjasama ini berfokus pada aspek teknis dan bantuan pasokan tepung dari luar negeri.
Namun, pada tahun 1970, muncul saingan baru untuk Supermi, yaitu Indomie. Merek ini diproduksi oleh PT Sanmaru Food, sebuah perusahaan yang didirikan oleh Djajadi Djaja, Wagyu Tjuandi, Ulong Senjaya, dan Pandi Kusuma, di bawah jaringan Grup Djangkar Djati. Grup ini didirikan oleh Djajadi Djaja pada tahun 1964, yang juga terlibat dalam mendistribusikan Indomie melalui PT Wicaksana Overseas.
Perkembangan Industri Mi Instan dan Persaingan
Persaingan dalam industri mi instan berjalan dengan normal sampai muncul perusahaan Sarimi pada awal tahun 1980-an. Sarimi didirikan oleh Sudono Salim melalui PT Sarimi Asli Jaya. Alasan Salim terjun ke bisnis ini terkait dengan kelangkaan beras di Indonesia pada akhir tahun 1970-an.
Namun, keadaan berubah di pertengahan tahun 1980-an. Stok beras di Indonesia kembali membaik, bahkan pada tahun 1984 sudah mencapai swasembada. Keinginan Salim untuk mengganti beras dengan mi sebagai makanan pokok masyarakat berakhir gagal. Situasi ini membuat Salim mendekati Djajadi Djaja, pemilik Indomie.
Kemitraan dan Dominasi Pasar
Salim mendekati Djajadi dengan tawaran untuk bekerja sama menghadapi situasi ini. Tawaran ini membuat Djajadi dalam dilema. Dia tahu bahwa produksi Indomie bergantung pada PT Bogasari milik Salim, tetapi dia juga enggan menerima tawaran tersebut. Djajadi menolak tawaran ini, dan sebagai hasilnya, Sarimi bersaing dengan Indomie. Dalam pertarungan ini, Salim rela mengeluarkan biaya besar untuk memasarkan produk Sarimi dengan harga lebih murah dari Indomie.
Strategi ini akhirnya membuat Sarimi berhasil menguasai 40% pasar mi instan di Indonesia. Dengan kesuksesan ini, Salim kembali mendekati Djajadi dan menawarkan kerjasama lagi. Kali ini, Djajadi setuju dan bersedia membentuk perusahaan patungan bernama PT Indofood Interna pada tahun 1984. Djajadi memiliki 57,5% saham dan Salim memiliki 42,5% saham di perusahaan ini.
Pergulatan Kepemilikan dan Akhir dari Djajadi Djaja
Namun, kontrol atas PT Indofood Interna perlahan beralih dari Djajadi ke Salim Group, dan Djajadi akhirnya terpaksa meninggalkan perusahaan. Setelah era Soeharto berakhir pada tahun 1998, Djajadi mulai berbicara dan menentang Salim Group. Namun, Djajadi menghadapi kesulitan dalam mengklaim kembali merek Indomie.
Dalam perlawanan hukum yang berlangsung selama 7 tahun, Djajadi akhirnya kalah dan harus mengakui bahwa kontrol atas Indomie telah beralih sepenuhnya ke tangan Salim Group. Akhirnya, Salim memasukkan Indomie ke dalam portofolio PT Indofood Sukses Makmur pada tahun 1994.
Dengan demikian, cerita penciptaan dan perkembangan merek mi instan Indomie adalah perjalanan yang penuh dengan dinamika, perubahan kepemilikan, dan strategi bisnis yang kompleks.
Disclaimer : Artikel ini hanya bersifat informasional dan tidak mengandung rekomendasi investasi.