BeritaInvestor.id – Sektor properti China saat ini berada dalam situasi krisis akibat kebangkrutan Evergrande, dan dampaknya pun diperingatkan dapat mencapai Indonesia. Meskipun eksposur terhadap kebangkrutan Evergrande tidak sebesar Lehman Brothers pada 2008, namun Indonesia perlu waspada terhadap potensi dampak lanjutan yang dapat mempengaruhi pelemahan ekspor, ekuitas, dan nilai tukar rupiah.
Pada tahun 2021, raksasa properti China, Evergrande, mengalami gagal bayar senilai US$340 miliar atau sekitar Rp 4.400 triliun. Pada Jumat, 18 Agustus 2023, Evergrande mengumumkan secara resmi kebangkrutannya.
Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, menjelaskan bahwa China adalah konsumen terbesar komoditas Indonesia, sehingga penurunan pertumbuhan ekonomi di China dapat berdampak pada harga komoditas Indonesia dan menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun, ada sisi positifnya. Meskipun permintaan domestik di China menurun, China diperkirakan akan tetap mempertahankan investasinya di luar negeri.
Dalam sektor perbankan, meskipun sejumlah lini bisnis subsider yang berhubungan langsung dengan Evergrande akan terkena dampaknya, risiko ini dianggap relatif kecil, mengingat exposure Evergrande terhadap seluruh sektor perbankan hanya sekitar 0,2-0,3%.
Andry juga menjelaskan bahwa dampak ini tidak akan terlalu memengaruhi minat perbankan untuk memberikan kredit pada sektor properti di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa perbankan China cenderung lebih mengutamakan memberikan kredit pada segmen properti yang lebih tinggi, seperti landed house, daripada apartemen atau coworking space. Oleh karena itu, properti di Indonesia tidak akan terlalu terimbas oleh situasi tersebut.
Dendi Raamdani, Head of Industry & Regional Research Bank Mandiri, juga menekankan bahwa sektor properti di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda dengan China. Sejak tahun 2015, properti di Indonesia lebih difokuskan untuk tempat tinggal daripada investasi, mengingat return yang ditawarkan relatif rendah, hanya sekitar 2-3%.
“Karena properti di Indonesia sejak 2015 bukanlah barang investasi karena returnnya rendah, cuma 2-3% saja. Jadi bukan instrumen investasi yang menarik,” ujarnya. Meskipun ada ketidakpastian di pasar global, properti di Indonesia tetap memiliki pendekatan yang berbeda dalam hal pengembangan dan nilai investasi.
Disclaimer : Artikel ini hanya bersifat informasional dan tidak mengandung rekomendasi investasi.