BeritaInvestor.id – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah melakukan finalisasi Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) tentang bursa karbon. Langkah ini sesuai dengan target pemerintah untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 31,89% melalui upaya domestik dan 43,2% dengan bantuan partisipasi internasional pada tahun 2030.
Inarno Djajadi, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, menyatakan bahwa hal ini memberikan penyemangat dan meningkatkan optimisme dalam menyelenggarakan perdagangan perdana unit karbon di bursa karbon pada bulan September mendatang. Indonesia memiliki peluang besar dalam perdagangan karbon, terutama di subsektor pembangkit tenaga listrik.
Peluang perdagangan karbon di Indonesia juga melibatkan sektor lain seperti kehutanan, perkebunan, migas, industri umum, dan lainnya. OJK berkomitmen untuk menyediakan infrastruktur yang lengkap dan mendukung beroperasinya bursa karbon, serta menyesuaikan mekanisme pengawasan dengan target nasional yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerapkan mekanisme perdagangan karbon di sektor pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) batu bara. Kegiatan ini melibatkan jual beli kredit karbon antara unit PLTU untuk mengurangi emisi.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu, menjelaskan bahwa unit pembangkit yang melebihi batas emisi diwajibkan membeli emisi dari unit PLTU yang emisinya berada di bawah ambang batas. Penerapan nilai Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) menjadi acuan dalam hal ini.
Perdagangan karbon antar unit PLTU di dalam negeri memiliki kisaran harga antara US$2 hingga US$18 per ton, sedangkan jika melibatkan pihak internasional, harganya berkisar dari US$2 hingga US$99 per ton.
Disclamer : keputusan pembelian /penjualan Saham sepenuhnya ada di tangan investor