BeritaInvestor.id – Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan perbedaan standar penghitungan kemiskinan antara Indonesia dan Bank Dunia (World Bank). BPS menggunakan standar internasional US$2,15 per kapita per hari dalam Purchasing Power Parity (PPP) 2017. Sementara itu, Bank Dunia menerapkan ambang batas US$6,85 untuk negara berpendapatan menengah ke atas.Perbedaan Standar yang Mendasari Data Berlawanan
Amalia menyebut standar Bank Dunia tidak tepat untuk Indonesia karena median Pendapatan Nasional Bruto (GNI) per kapita Indonesia hanya sebesar US$4.800, masih di bawah batas upper middle income (US$4.500-US$14.000). “Indonesia tak boleh pakai standar median upper middle income karena posisi kami belum memenuhinya,” tegasnya.Mengapa Data Kemiskinan Berbeda?
Laporan Bank Dunia pada April 2025 mencatat 60,3% penduduk Indonesia (171,9 juta orang) miskin berdasarkan US$6,85/hari. Namun BPS menghitung kemiskinan dengan garis yang lebih lokal: Rp595 ribu/kapita/bulan di September 2024, dan menemukan angka 8,57% (24 juta orang).Penggunaan PPP & Perbedaan Regional
Perhitungan BPS mempertimbangkan garis kemiskinan per provinsi karena kondisi berbeda antar wilayah. Contoh: Jakarta dan Papua Selatan punya ambang batas yang tidak sama. Hal ini membuat data nasional agregat dari 34 provinsi.Reaksi terhadap Klaim Bank Dunia
Amalia menegaskan BPS menggunakan metode adaptif untuk kondisi Indonesia, bukan standar global. Dia menyindir estimasi Bank Dunia yang “terlalu tinggi” karena tidak memperhitungkan variabilitas daerah dalam biaya hidup.Disclaimer: Keputusan pembelian / penjualan saham sepenuhnya ada di tangan investor.