BeritaInvestor.id – Rencana pemerintah untuk meluncurkan program tax amnesty (pengampunan pajak) jilid III tengah menjadi sorotan. Setelah sebelumnya diperkenalkan pada 2016 dan diikuti oleh Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 2022, kebijakan ini kembali digulirkan untuk mendongkrak penerimaan negara secara instan.
Pakar pajak Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, menilai langkah ini adalah tanda bahwa pemerintah membutuhkan dana cepat untuk memenuhi kebutuhan anggaran belanja negara.
“RUU tax amnesty menjadi keniscayaan ketika negara membutuhkan dana secara instan dari wajib pajaknya,” ujar Prianto kepada CNBC Indonesia, Kamis (21/11/2024).
Fokus pada Ekonomi Bawah Tanah dan Pengemplang Pajak
Prianto menyoroti dua alasan utama di balik pengguliran tax amnesty. Selain rendahnya rasio pajak, pemerintah ingin mengejar sektor ekonomi bawah tanah (underground economy). Hal ini mencakup pengemplangan pajak di sektor perkebunan, perikanan, hingga pendapatan dari judi daring dan game internasional.
Prianto juga menambahkan, praktik offshore tax evasion menjadi latar belakang penting kebijakan ini.
“Di satu sisi, pemerintah membutuhkan dana untuk mengerek rasio pajak. Di sisi lain, masih ada fenomena penghindaran pajak yang sulit diatasi, seperti ekonomi bawah tanah,” jelasnya.
Kritik atas Efektivitas Kebijakan Tax Amnesty
Meski berhasil meningkatkan penerimaan negara secara signifikan, seperti Rp 130 triliun pada tax amnesty jilid I dan Rp 61,01 triliun pada PPS 2022, kebijakan ini menuai kritik tajam. Prianto menilai, penerimaan pajak cenderung stagnan setelah program berakhir, mengingat pengemplang pajak kembali menghindari kewajiban mereka.
“Perilaku tax evasion dan tax avoidance akan tetap ada, karena karakteristik pajak seperti pemaksaan yang dianggap tidak adil oleh sebagian pihak,” ungkapnya.
Ketidakadilan Bagi Wajib Pajak Patuh
Salah satu kritik terbesar terhadap tax amnesty adalah ketidakadilan yang dirasakan wajib pajak patuh. Mereka yang selama ini taat membayar pajak merasa dirugikan karena pengemplang pajak mendapatkan “karpet merah” berupa tarif tebusan lebih rendah.
Ajib Hamdani dari Apindo menekankan, program ini mendorong masyarakat meremehkan kebijakan perpajakan reguler.
“Masyarakat yang mengikuti tax amnesty mengakui ketidakpatuhan mereka sebelumnya. Hal ini menimbulkan antipati terhadap wajib pajak patuh,” jelas Ajib.
Evaluasi Keberhasilan Tax Amnesty Sebelumnya
Pada tax amnesty jilid I, pemerintah mengumpulkan uang tebusan sebesar Rp 130 triliun, dengan deklarasi harta mencapai Rp 4.813,4 triliun. Namun, hasil PPS 2022 menunjukkan penurunan penerimaan, dengan hanya Rp 61,01 triliun terkumpul dari setoran pajak penghasilan.
Ajib menyebut penurunan ini dipengaruhi oleh pembatasan peserta dan tarif yang kurang menarik.
Disclamer : keputusan pembelian / penjualan Saham sepenuhnya ada di tangan investor