BeritaInvestor.id – Indonesia telah mencatat deflasi selama lima bulan berturut-turut, mendekati rekor terpanjang dalam sejarah ekonomi negara ini. Bank Indonesia memproyeksikan tren ini dapat terus berlanjut jika performa penjualan ritel tetap melemah. Deflasi berkepanjangan ini tidak lagi dilihat sebagai indikasi pasokan barang yang melimpah, tetapi lebih sebagai tanda melemahnya belanja konsumen serta penurunan daya beli.
Penurunan Daya Beli Masyarakat
Berdasarkan hasil Survei Konsumen Bank Indonesia, tren deflasi ini disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat, terutama di kelompok konsumen menengah dengan pengeluaran bulanan antara Rp3,1 juta hingga Rp4 juta. Konsumen dalam kelompok ini cenderung mengurangi konsumsi mereka dan lebih memprioritaskan alokasi dana untuk tabungan serta cicilan utang.
Sebaliknya, konsumen kelas atas dengan pengeluaran lebih dari Rp5 juta menunjukkan peningkatan konsumsi, tetapi hal ini disertai dengan pengurangan jumlah tabungan. Fenomena yang disebut “makan tabungan” ini menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan konsumsi, cadangan tabungan masyarakat semakin terkuras.
Dampak Terhadap Dunia Usaha dan Pekerjaan
Deflasi yang berlangsung lama menimbulkan efek domino terhadap dunia usaha. Harga yang terus menurun menggerus margin keuntungan produsen, sehingga banyak perusahaan harus melakukan efisiensi, termasuk mengurangi jumlah tenaga kerja dan menurunkan tingkat produksi. Kondisi ini juga mempengaruhi sektor industri hulu, yang merasakan dampak dari berkurangnya permintaan.
Penurunan harga barang tidak selalu mendorong konsumsi yang lebih tinggi. Konsumen cenderung menunda pembelian barang tahan lama, sebagaimana terlihat dalam penurunan Indeks Pembelian Barang Tahan Lama pada bulan September. Hal ini juga mencerminkan kehati-hatian konsumen kelas menengah-atas untuk meningkatkan belanja di tengah ketidakpastian ekonomi yang sedang berlangsung.
Dampak Deflasi pada Sektor Keuangan
Deflasi juga memiliki dampak signifikan pada sektor keuangan. Penurunan harga barang dan jasa meningkatkan nilai riil utang, yang memperbesar beban utang bagi debitur. Hal ini berpotensi memicu peningkatan jumlah kasus gagal bayar (NPL) di perbankan, yang pada Juli 2024 tercatat meningkat menjadi 2,27%.
Selain itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di sektor perbankan menunjukkan perlambatan paling signifikan dalam tujuh bulan terakhir, dengan kenaikan hanya 6,8% pada bulan Agustus. Kondisi ini mencerminkan sikap hati-hati masyarakat dalam menempatkan uang mereka di bank di tengah ketidakpastian ekonomi yang sedang berlangsung.
Risiko Deflasi Berkepanjangan
Jika tren deflasi terus berlanjut, risiko terjadinya “spiral deflasi” menjadi nyata, di mana penurunan harga barang dan jasa semakin memperburuk kondisi ekonomi. Penurunan harga yang terus-menerus akan menurunkan pendapatan dan belanja masyarakat, yang pada gilirannya akan memperdalam deflasi.
Tanda-tanda dampak dari deflasi ini sudah terlihat, antara lain dengan meningkatnya jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dari Januari hingga Agustus 2024, angka PHK tercatat mencapai 46.240 orang, meningkat 23,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Melemahnya aktivitas manufaktur menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya angka PHK di Indonesia.
Disclamer : keputusan pembelian / penjualan Saham sepenuhnya ada di tangan investor